(Cerpen) Agen F.B.I

Malam itu tepat pukul 22.00 WITA. Bulan masih saja memancarkan sinarnya yang begitu indah. Terdengar suara gonggongan anjing dari kejauhan yang diselingi oleh lantunan nada-nada harmonis sang jangkrik dari balik semak yang ada di halaman rumahku. Setelah aku menonton film yang berjudul “FBI” yang mengisahkan tentang seseorang yang berprofesi sebagai polisi rahasia dunia, kulangkahkan kakiku menuju ke kamar tidur yang berada tak jauh dariku saat itu. Tubuhku langsung kurebahkan di atas ranjang kesayanganku. Sejenak terlintas di benakku, seandainya saja aku dapat menjadi salah satu dari Agen Rahasia FBI(Federal Bureau of Investigation) itu. Namun berselang beberapa menit, khayalan tingkat tinggi itu mengantarkanku ke dalam tidur hingga fikiran itu berkembang menjadi sebuah imajinasiku di dalam mimpi. Di alam mimpi, aku berperan sebagai salah satu agen FBI yang tinggal di Singapore. Aku tinggal bersama dengan seorang wanita muda berkebangsaan Singapore, berumur 20 tahun yang biasa kupanggil Ely. Ya, ia adalah istriku yang aku nikahi setelah berpacaran selama 2 tahun dan telah menikah denganku beberapa bulan yang lalu. Ia adalah sosok wanita yang diidam-idamkan oleh kebanyakan pria. Kulitnya putih, tubuhnya ideal, berpendirian kuat, sopan dan sangat mengerti akan jalan fikiranku.
Profesiku sebagai agen FBI hanya diketahui olehku saja dan oleh agen FBI lainnya. Nama resmiku di dalam organisasi adalah Whezard Lavoiser, sedangkan di kehidupan sehari-hariku aku biasa dipanggil Mike yang berprofesi sebagai penjual tanaman hias di Singaore. Istriku juga memanggilku dengan nama itu. Sampai sekarang ia tidak tahu bahwa aku adalah seorang agen rahasia. Aku sengaja merahasiakan profesiku itu agar kehidupan kami tidak terganggu dan demi keselamatan istriku tercinta Ely.
Suatu ketika aku memperoleh sebuah misi dari atasanku yang harus kuselesaikan sendiri di London. Lalu…
“Ely, untuk beberapa saat ini aku harus pergi lagi. Aku ingin kamu dapat mengerti itu” kataku dengan nada yang meyakinkan. “Tapi kamu mau kemana?”Tanya Ely. “Aku harus pergi ke London untuk mencari bibit bunga langkah itu” jawabku yang sengaja berbohong kepadanya. “Bunga yang mana? Bukankah bunga-bunga kita masih terlalu banyak untuk kita jual. Aku tidak sanggup bila harus kamu tinggalkan lagi. Aku tidak mau kesepian dalam kesendirian untuk kesekian kalinya” kata Ely sambil mengeluarkan air mata kesedihannya. “Maafkan aku Ely, itu demi kelangsungan hidup kita juga. Aku tak mungkin meninggalkanmu jika ini tak menyangkut kehidupan kita. Tolong, mengertilah! Aku pasti akan segera kembali. Aku berjanji, please” aku meyakinkan. “Baiklah, tapi jangan terlalu lama. Aku takut sendiri di sini” kata Ely lagi. “Baiklah sayang, aku takkan lama meninggalkanmu karena aku mencintaimu” ucapku sambil memeluk dan menghapus air mata yang membasahi wajah istri tercintaku itu.
Keesokan harinya, sebelum berangkat kukecup dahi istriku lalu kupeluk tubuhnya dengan penuh kasih sayang. “I love you. Aku akan segera kembali. Tunggulah aku di sini”. Itulah kata-kata terakhir yang aku ucapkan padanya di Bandar Udara Internasional Changi Singapore sebelum aku berangkat ke London. “Jaga kesehatanmu di sana. Jangan tidur terlalu larut. Aku akan merindukan kedatanganmu di sini dengan penuh kesabaran” nasihat sekaligus harapan Ely padaku dengan mata yang berkaca-kaca saat itu. Kulihat arloji pemberian Ely yang kupasang di tangan kananku. Ternyata tibalah saatnya bagiku untuk meninggalkannya. “Baiklah, aku harus pergi. Jaga dirimu baik-baik” kataku. “Hati-hatilah dan jangan lupa pesanku tadi” ujar istriku tercinta yang lagi-lagi meneteskan air mata. Sekali lagi kupeluk tubuhnya dan kuhapus air mata yang melunturkan kecantikan wanita muda pendamping hidupku itu. Setelah itu, kulangkahkan kakiku perlahan meninggalkannya.
Pesawat yang aku tumpangi mendarat di Bandar Udara Heathrow, London. Di sana aku dijemput oleh seorang agen FBI sama sepertiku. Namanya John O’connor. Di dalam organisasi ia lebih senior dariku. Kata John, ia sengaja diutus oleh atasan kami untuk membantuku dalam menjalankan misi ini. Aku kira misiku ini hanya untukku saja, akan tetapi setalah mendengar penjelasan dari John, aku akhirnya mengerti. Aku kemudian diantar olehnya ke sebuah hotel di London. Hotel itu bernama The Montcalm Hotel Nikko. Di sana aku sekamar dengan John.
Tiga minggu telah aku lalui di London bersama John, akan tetapi informasi mengenai pengedar narkoba yang kami cari-cari itu masih sangat sedikit. Hari-hariku bersama John masih sama seperti hari sebelumnya. Telah banyak kejadian yang kami alami bersama sehingga kami sudah seperti saudara saja. Suatu saat, tanpa sengaja aku bercerita mengenai keluargaku kepada John. Semua mengenai keluargaku telah John ketahui. Mulai dari ayah, ibu bahkan istriku Ely. Aku sering curhat kepadanya. Aku juga sering meminta nasihat kepadanya.
Tiba pada suatu saat ketika aku berjalan-jalan sendiri di sebuah desa yang berada di pinggir kota London, aku melihat seorang lelaki muda yang mempunyai gerak-gerik mencurigakan. Kuikuti dia dari belakang. Sampai pada suatu tempat ia berhenti di sebuah gudang besar. Aku melihatnya sedang melakukan transaksi narkoba dengan sekelompok orang berjas. Mereka memakai senjata dan membawa beberapa koper yang berisi narkotika. Salah satu dari mereka memakai topeng. Aku terus mengintai mereka dari jauh. Setelah mereka bubar, kuikuti anak muda itu lagi. Anak muda itu ternyata melihatku dan berlari sekencang mungkin. Kukejar ia sekuat mungkin. Beberapa lorong dan semak-semak telah aku lewati. Akhirnya aku berhasil menangkapnya. Kuancam dia dengan pistolku agar mau mencerikan semua kejadian yang telah aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Berselang beberapa saat, ia pun mengungkapkan semuanya.
Aku sangat kecewa dengan apa yang aku ketahui dari anak muda itu. Ternyata, pelaku utama(pria bertopeng) dari kasus ini adalah temanku sendiri. Ya, dia adalah John O’connor yang selama ini kuanggap sebagai saudaraku sendiri. Setelah kejadian itu aku tak pernah lagi melihat John. Aku terus mencarinya. Kutanyai semua orang yang mengenalnya, akan tetapi tak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya. Aku tidak putus asa. Kucari dan terus kucari dia. Akhirnya aku tahu keberadaan John sang pengedar itu. Ia sekarang berada di Singapore. Tepatnya di kota tempat aku tinggal bersama keluargaku.
Mengetahui hal itu, aku langsung bergegas menuju ke Singapore. Setiba di sana aku lebih dulu pergi ke rumahku. Kutekan bel rumah yang kurindukan itu. Terdengar suara wanita yang sangat aku rindukan. Ketika melihatku, ia langsung memelukku erat-erat. Aku juga membalas pelukan kasih sayangnya itu dengan pelukan yang terbakar api kerinduan yang membara dan bergejolak.
“Sayang, mengapa kamu tidak memberi tahuku kalau kamu mau pulang hari ini?” tanya Ely dengan mata yang berbinar-binar. “Aku sengaja tidak memberi tahumu. Aku ingin membuat surprise untukmu” jawabku. “Oh, iya. Di dalam ada seseorang pembeli bunga yang mengaku mengenalmu. Kami telah berbincang-bincang cukup lama. Lantas aku menyuruhnya masuk ke rumah dan menuangkannya secangkir kopi. Katanya ia pertama kali mengenalmu ketika di London. Ia juga menceritakan keadaanmu di sana” ujar Elyku sayang. “Owgh, begitu…ngomong-ngomong nama orang itu siapa?” tanyaku sambil berjalan masuk perlahan ke dalam rumah. “Katanya ia bernama John. John O’connor” jawabnya. “Ha….dimana ia sekarang?” tanyaku dengan nada yang was-was. “Ia berada di taman bunga” jawab Ely dengan nada terkejut. Aku berlari sambil mengeluarkan pistol dari dalam bajuku dan kuarahkan ke tubuh John. “John menyerahlah. Aku tahu siapa kau sebenarnya. Jadi jangan macam-macam. Aku tidak segan-segan untuk menembakmu” ancamku kepada John. John mula-mula mengangkat tangannya, akan tetapi dengan gerakan yang cepat John membalik keadaan. Kini aku yang diancam. Aku mencoba tuk melakukan perlawan. Kuayungkan pistolku kembali ke arah John, hingga terjadi aksi saling tembak-menembak jarak jauh antara aku dan John di taman bunga itu.
Terdengar suara Ely yang dikejutkan oleh suara tembak kami.
“Ely jangan kemari” teriakku. Ia tidak mendengarkan perkataanku itu. Ia tetap saja ingin ke sana. Setiba di sana, Ely melihatku akan ditembak oleh John. Ely berlari melindungiku ketika peluru John melesat ke arahku dan akhirnya yang terkena peluru adalah Ely. “Tidaaaaaaaaaak!!!!!!!” teriakku sambil berlari untuk merangkul tubuh Ely yang terkena peluru dari pistol John yang biadab itu. Setelah Ely berada di pelukku, sekali lagi kuayungkan pistolku dengan gerakan cepat ke arah John. Akhirnya peluru yang disertai kemarahan besarku itu berhasil mengenai jantung John, hingga ia tergeletak di tanah dengan berlumuran darah.
“Ely…Ely…tolong, bangunlah…”. Itulah kata yang terus kukatakan ketika membawa Ely ke rumah sakit. Setiba di rumah sakit, Ely kemudian di masukkan ke ruang UGD. Kutunggu ia beberapa jam akan tetapi tak seorangpun dokter yang keluar. Aku bingung, apa yang mesti aku lakukan. Aku masih terus saja mondar-mandir, hingga pada suatu ketika aku terjatuh di depan ruang UGD itu. Lalu…
“Bruk”… itulah suara gaduh yang kudengar. Badanku terasa sakit. Kubuka kedua mataku dan kulihat sekelilingku. Ternyata aku telah tergeletak di lantai sebuah kamar yang terasa tak asing lagi bagiku. Di dalam hati aku bertanya-tanya “Dimana rumah sakitnya?”. Berselang beberapa saat, kudengar suara ayah yang memanggilku dan akhirnya aku yakin bahwa kejadian yang telah kualami hanya sebuah mimpi yang menyelingi tidurku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika ada pertanyaan atau sanggahan, teman-teman bisa mengisi kotak komentar ini. Mari budayakan berkomentar. Selain baik untuk blog sobat, baik juga untuk kesehatan kita :D