Siapa yang Kaya, Siapa yang Miskin



Ada wanita tua yang selalu menangis. Ia menangis bila hari hujan dan juga bila hari panas. Seorang lelaki yang kebetulan lewat merasa iba dan bertanya kepadanya, "Nenek, mengapa engkau menangis?" Wanita itu menjawab, "Aku punya dua putri, yang sulung menjual sepatu kain dan yang bungsu menjual payung.


Bila cuaca bagus, aku sedih memikirkan putri bungsuku yang payungnya tak laku. Sebaliknya kalau hujan turun, aku memikirkan putri sulungku yang sepatu kainnya tak laku."
Mendengar hal itu, lelaki tadi berkata, "Kalau engkau ingin bahagia, cobalah pikirkan yang sebaliknya. Kalau cuaca bagus pikirkan putri sulungmu.
Bukankah sepatu kainnya akan laku keras pada saat itu? Sebaliknya bila hujan datang, pikirkan putri bungsumu. Pasti payungnya banyak terjual." Sejak saat itu si nenek tak pernah menangis lagi. Ia selalu bersyukur dan tertawa setiap saat.


Para pembaca yang budiman, mudah-mudahan cerita sederhana di atas dapat memberikan inspirasi bagi Anda semua. Untuk bisa bahagia, yang kita perlukan hanyalah mengubah cara pandang kita. Kita tak selalu dapat mengubah kondisi di luar, tetapi selalu dapat mengubah kondisi di dalam diri kita sendiri.
Kebahagiaan selalu kita dapatkan kalau kita bergantung pada apa yang ada di dalam. Dengan demikian, apa pun yang terjadi di luar terlihat baik-baik saja. Inilah yang disebut bersyukur.


Ada dua alasan mengapa kita sulit bersyukur. Pertama, persepsi dan paradigma kita yang salah. Kalau kita memperoleh apa yang kita inginkan, kita menyebutnya kabar baik. Sementara kalau kita tidak memperoleh apa yang kita inginkan, kita menyebutnya kabar buruk. Padahal dalam perspektif yang lebih luas, kabar buruk tadi dapat saja menjadi kabar baik. Begitu pula sebaliknya.

Seorang kawan saya pernah membuktikannya. Semula ia begitu kecewa karena lamaran kerjanya ke suatu perusahaan tak digubris sama sekali. Perusahaan itu malah menerima orang lain yang kurang kompeten. Ternyata perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa hal itu bukanlah kabar buruk. Perusahaan itu melakukan rasionalisasi dan posisi tersebut akhirnya dilikuidasi.

Kabar buruk juga senantiasa mengandung kebaikan tersendiri. Dengan
perspektif seperti ini, Anda justru bersyukur setiap kali menemui masalah. Pelanggan yang marah membuat Anda belajar mengenai customer satisfaction. Atasan yang mau menang sendiri membuat Anda mampu menjual ide dan meyakinkan orang lain. Bawahan yang bermasalah membuat Anda lebih sabar dan bijaksana. Jalanan yang macet malah memungkinkan Anda berzikir dan relaksasi.

Dengan berpikir demikian, situasi apa pun selalu kita hadapi dengan penuh rasa syukur. Masalah justru membuat kita tumbuh. Ibarat mengemudikan mobil, bisakah Anda disebut pengemudi yang baik kalau kondisi jalan mulus dan lancar? Tentu tidak. Anda justru harus melalui jalan yang sempit, mendaki, di tengah malam gelap atau hujan deras. Nah, kalau Anda bisa selamat sampai di tujuan tanpa goresan sedikit pun di mobil Anda, barulah Anda layak disebut pengemudi yang baik.


Alasan kedua mengapa kita sulit bersyukur adalah, kita terlalu sibuk
memikirkan hal-hal yang tidak kita miliki dan lupa memikirkan apa-apa yang sudah kita miliki.
Katakanlah Anda sudah mempunyai kendaraan pribadi yang lumayan, tapi Anda masih merasa kurang karena melihat orang lain memiliki kendaraan yang lebih bagus. Anda pun terobsesi menyamai mereka. Anehnya, begitu berhasil, Anda menemukan rekan lain yang jauh di atas Anda dan Anda pun kembali sibuk mengejarnya. Pengejaran seperti ini tak akan pernah berakhir. Celakanya, ini membuat kita tak sempat lagi memikirkan – apalagi menikmati -- apa yang sudah kita miliki.

Ada cerita inspiratif mengenai lelaki yang mendatangi orang bijak. Ia
mengeluhkan hidupnya yang seperti di neraka. "Bagaimana tidak," katanya, "kami semua, aku, istriku, anak-anakku dan mertuaku hidup dalam rumah yang sempit." Sambil tersenyum orang bijak itu bertanya, "Apakah engkau memelihara hewan ternak?" "Ya," jawab si lelaki, "aku mempunyai lembu, kambing dan 6 ekor ayam." "Baiklah," sambung si orang bijak, "sekarang masukkan semua hewan peliharaan itu ke rumahmu dan kembalilah ke sini satu minggu lagi."

Lelaki tersebut bertambah heran. Namun karena sudah berjanji taat, hal itu dilakukannya juga. Seminggu kemudian, kembalilah ia ke tempat si orang bijak sambil mengeluh, "Sarafku hancur. Kotor. Bau. Kami semua sudah hampir gila!" "Sekarang kembali," kata orang bijak, "keluarkan semua hewan dari rumah."

Mendengar kata-kata tadi, betapa gembiranya lelaki itu. Hari berikutnya ia kembali dengan mata berbinar-binar, "Hidupku kini sangat nyaman, rumahku kini begitu lapang. Tenang, bersih dan luas."


Memang terkadang kita tak sempat menikmati apa yang sudah kita miliki, karena pikiran kita dipenuhi berbagai keinginan. Kita baru menyadari begitu kenikmatan ini hilang. Pengalaman pahit seperti cerita di atas baru membuat kita bersyukur. Dengan bersyukur, kita benar-benar memiliki kesempatan menikmati ketenangan, kepenuhan, kedalaman dan kepuasan dari semua yang kita miliki. Perasaan seperti inilah yang disebut berkah.

Untuk bisa bersyukur, Anda hanya perlu membuka mata, melihat sekitar Anda dan menikmati segala yang Anda miliki. Semua yang Anda butuhkan dalam hidup ini sebenarnya telah disediakan Tuhan dalam diri Anda sendiri. Begitu menyadari hal ini, Anda akan menjadi orang yang "kaya".
Jangan salah, orang "kaya" dalam arti yang sesungguhnya adalah orang yang membutuhkan paling sedikit. Tuhan disebut "Maha Kaya" karena Ia tidak membutuhkan apa pun.
Sebaliknya, orang yang "miskin" adalah mereka yang senantiasa merasa kurang. Harta yang mereka miliki, berapa pun banyaknya, tak akan pernah membuat mereka puas. Mereka selalu meminta dan membutuhkan lebih banyak lagi. Hidup seperti itu memang jauh dari berkah.



From the writer of : "You are A Leader!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika ada pertanyaan atau sanggahan, teman-teman bisa mengisi kotak komentar ini. Mari budayakan berkomentar. Selain baik untuk blog sobat, baik juga untuk kesehatan kita :D