(Cerpen) Tiga Serangkai

pagi itu, Keisya masih terbaring di tempat tidur. Tubuhnya masih terbungkus rapi oleh selimut kesayangannya walaupun matahari telah menampakkan hampir seluruh tubuhnya. Begitu pula rambut panjangnya yang diurai berantakan, tak mengganggu keasyikannya menikmati mimpi – mimpi indahnya. Namun, tiba – tiba ia merasa tubuhnya terguncang.
“ Keisya…..Keisya…..ayo bangun. Kamu belum shalat shubuh loh, ” suara itu terdengar samar ditelinganya.
“ Aku lagi halangan kok, ” jawabnya masih setengah tertidur.
“ Oh…… Tapi kamu belum beres – beres buat ke sekolah. Sekarang hari Rabu loh, jam pelajaran pertama yang ngajar Pak Killer, kamu tahu kan kalau terlambat akibatnya apa? “ kata si pemilik suara lembut itu.
“ Iya… iya… Emangnya sekarang jam berapa? “ tanya Keisya yang masih menggeliat – geliat di bawah selimutnya yang ditarik paksa oleh si “ penggangu ” tidurnya.
“ Jam 7 pagi, “ jawab si “ pengganggu ” tidur sedikit ketus.
“ Oh…jam 7… Hah,,jam 7…kok banguninnya baru sekarang sih. Aku bisa telat, Fia, “ jawab Keisya sambil melompat indah dari tempat tidurnya lalu meluncur dengan gesit meraih peralatan mandi di rak cucian dan berhasil mendarat di kamar mandi dengan selamat.


Setelah 20 menit akhirnya Keisya telah lengkap dengan seragam sekolahnya. Keisya, Fia, dan Cia kini berjalan ke kelas mereka, tepatnya setengah berlari sebab waktu mereka tinggal 10 menit lagi sebelum bel masuk bernyanyi … eh maksudnya berbunyi. Kelas tujuan mereka adalah kelas VIII1, sebuah kelas yang berada di bawah naungan SMPN 3 Tunas Bangsa. Sekolah mereka adalah salah satu sekolah favorit di Kabupaten mereka karena ditopang dengan predikat kelas unggulannya serta label SSN alias Sekolah Standar Nasional. Selain itu, sekolah mereka juga merupakan satu – satunya SMP Negeri di bagian timur Indonesia yang mengasramakan siswa – siswinya, namun terkhusus pada siswa - siswi unggulan.
Akhirnya, mereka berhasil mencapai kelas tujuan mereka dengan napas ngos – ngosan.
“ Kalian kenapa??.. kayak habis dikejar anjing aja, “ tanya Mamad yang heran melihat kondisi ketiga temannya tersebut.
“ Iya nih… tadi kami emang dikejar – kejar, “ kata Cia.
Fia dan Keisya berpaling heran ke arah Cia berbarengan.
“ Dikejar – kejar waktu, maksud aku. “ lanjut Cia sambil mengatur napasnya kembali.
“ Huh….” Seru Fia dn Keisya berbarengan ditambah jitakan mantap mereka berdua yang dengan sukses mendarat di kepala Cia.
“ Aduh!!!... sakit, “ keluh Cia manja.
Tapi, tiba – tiba sirene keamanan berbunyi….
“ Pak Killer datang !!! “ seru Raka dengan lantang.
Semua muridpun berlarian seperti lirik lagu kupu – kupu….
Hilir mudik mencari,
Bunga – bunga yang mekar,
Eh… tapi mereka tidak sedang mencari bunga – bunga melainkan bangku masing – masing.
Tepat saat para murid berhasil mendarat di bangku mereka masing – masing, Pak Zul telah menapakkan kakinya di ambang pintu kelas. Semua mata tertuju padanya diiringi irama jantung murid – murid yang bernyanyi dag dig dug ria. Pak Zul memang terkenal dengan ” keganasannya ” dalam mengajar, apalagi mata pelajaran yang diajarkannya tergolong “ menyeramkan ” bagi beberapa murid, yaitu Matematika. Itulah alasan ia digelari “ Pak Killer”. Tapi, hal ini tidak berlaku bagi Cia. Itu karena mata pelajaran favorit Cia adalah Matematika. Bagi dia Matematika sudah jadi sahabat ketiga, setelah Fia dan Keisya tentunya. Terus Keisya, bagi dia Fisika adalah cintanya. Dia paling senang membuat rumus turunan. Lain lagi dengan Fia, pokoknya dia paling tidak suka dengan hal berhubungan dengan hal hitung – menghitung. Itulah sebabnya dia suka banget dengan Biologi. Katanya tidak bikin otak pusing tujuh keliling, tidak seperti rumus – rumus di Matematika dan Fisika.
Ketika Pak Zul meletakkan buku paketnya di atas meja guru dan duduk dengan “ manis ” di kursinya lalu melayangkan pandangannya ke seluruh penghuni kelas, maka Alif si ketua kelas pun memberi aba – aba penghormatan kepada guru. Setelah itu, eksekusi pun dimulai…eh, maksudnya pelajaran pun dimulai.


Ketika waktu istirahat tiba, para murid bermaraton menuju kantin, sebab mereka takut kehabisan bakwan favorit buatan Bu Iyem. Tapi, keadaan ini telah diatasi oleh ketiga sahabat tersebut. Triknya, memesan di awal waktu sebelum para pengunjung lain datang, yakni pada saat Bu Iyem sedang membereskan dagangannya supaya besoknya sudah dapat bagian khusus.
Pada hari itupun, mereka kembali duduk bertiga di meja pojok tempat kesukaan mereka. Itulah alasan mereka dipanggil “ Tiga Serangkai ”, karena kemana – mana selalu bertiga walaupun ketiga karakter mereka berbeda satu sama lain. Cia yang agak pemalu, Keisya yang suka heboh sendiri, dan Fia yang agak manja. Tapi meski mereka selalu bersama, mereka tetap tidak membatasi pergaulannya dengan teman – teman yang lainnya.
Di tengah acara makan – makan tersebut, secara tidak sengaja Keisya menumpahkan saus bakwan dan berhasil bersatu padu dengan seragam sekolah Fia.
“ Aduh, Fia. Maaf … maaf… aku nggak sengaja, ” kata Keisya panik.
Untuk sesaat Fia diam,lalu….
“ Kamu sih, Sya. Ceroboh banget sih jadi orang. Aku nggak suka sama sikap kamu yang seperti ini. “ kata Fia lalu meninggalkan Cia dan Keisya yang kaget dengan sikapnya.
“ Kok, Fia kayak gitu sih? “ tanya Keisya heran.
“ Aku juga nggak tahu. Ada masalah mungkin. “ jawab Cia sambil membereskan letak mangkuk yang terbalik.
“ Tapi, kenapa dia gak cerita ke kita. Aku jadi gak enak ma Fia nih, Ci, “ kata Keisya sedih.
“ Sudah, nanti kita bicarain. Pasti Fia mau mengerti, “ balas Cia mencoba menghibur sahabatnya.
Keisya hanya mengangguk pasrah.


Sudah dua hari Keisya dan Fia tidak saling berkomunikasi satu sama lain. Hal ini memaksa Keisya untuk menemui Cia. Keisya pun mendatangi Cia yang sedang asyik membaca sebuah majalah remaja di kamarnya.
“ Cia, apa kamu udah tanya alasan Fia marah soal kejadian di kantin? “ kata Keisya saat memasuki kamar Cia. Untung saat itu sekamar Cia sedang keluar semua, jadi suasana cukup mendukung untuk melakukan pembicaraan rahasia antara dua sahabat tersebut.
“ Udah….” jawab Cia santai sambil terus mengamati sebuah gambar jam tangan yang sedang naik daun.
“ Terus, dia bilang apa? “ tanya Keisya sambil menyilangkan kedua kakinya di samping tubuh Cia.
“ Dia nggak bilang apa – apa, “ jawab Cia masih dengan wajah tidak peduli.
“ Kok gitu sih. Sekarang aku lagi nggak bercanda, Ci, “ balas Keisya dengan wajah manyun dan tangan terlipat di dada.
“ Keisya yang baik hati, rajin menabung, dan tidak sombong…waktu aku nanya ke Fia dia nggak bilang apa – apa. Malahan dia langsung ninggalin aku. Puas sekarang? “ jawab Cia sambil meletakkan majalah yang dibacanya di sampingnya dan menghadapkan tubuhnya ke arah Keisya.
“ Oh. Maaf, “ balas keisya dengan wajah menyesal telah berkata agak kasar ke sahabatnya.
“ Nggak apa – apa. Aku yakin Fia pasti bakalan ngerti. Dia butuh waktu untuk nenangin diri sekarang, “ kata Cia bijaksana, “ Sekarang lebih baik kamu mandi sore. Nanti keburu maghrib loh, “
“ Iya deh. Makasih ya Cia. Kamu memang sahabat yang paling baik sejagat raya, “ kata Keisya sedikit merasa lega dan memeluk Cia. Setelah itu, Keisya kembali ke kamarnya dan meninggalkan Cia yang sedang berusaha mengatur napasnya karena sesak telah dipeluk erat oleh Keisya.


Hari ini merupakan hari yang spesial untuk Keisya sebab pada hari ini dia telah genap berusia 14 tahun. Berbeda dengan tahun – tahun sebelumnya, kali ini Keisya kurang menyambut bahagia hari istimewanya tersebut. Tentu saja ini disebabkan oleh hubungannya yang kurang langgeng dengan seorang sahabatnya, Fia. Sudah seminggu ini mereka tak saling menyapa. Selama jam pelajaran berlangsung Keisya kurang menyimak penjelasan dari Ibu Jaya yang sedang membahas tentang proses pembentukan muka bumi. Ditambah lagi dengan absennya Fia pada hari itu. Hal ini makin membebani pikiran Keisya dan membuatnya merasa makin bersalah.
Saat jam istirahat tiba, Keisya duduk sendiri di bawah sebuah pohon jambu yang cukup besar di sekolahnya. Namun, ia dikagetkan oleh Cia yang datang dengan tiba – tiba.
“ Kamu kenapa, Sya? Hmm…apa masih mikirin Fia? “ tanya Cia setelah duduk di samping Keisya.
Yang ditanya hanya mengangguk lemah sambil terus meneteskan butiran hangat dari matanya.
“ Sabar ya, Sya. Mungkin ini cobaan buat kamu biar makin dewasa, “ kata Cia sambil menawarkan sebuah tissue ke Keisya. Keisya menerimanya dengan lemah.
“ Sabar sih sabar, Ci. Tapi kalau udah kayak gini harus gimana dong?. Fia udah benci ma aku. Aku sih ceroboh banget jadi orang. Coba waktu itu aku lebih hati – hati, pasti nggak bakalan kayak gini, “ kata Keisya menahan emosi pada dirinya sendiri.
“ Hush…jangan suka nyalahin diri sendiri!! “ potong Cia, “ Sekarang mending kita ke kantin aja. Kamu pasti belum jajan kan? “ lanjutnya sambil menenangkan Keisya yang terus menghasilkan jutaan butir air mata.
“ Nggak mau!!...masa aku ke kantin dengan mata bengkak kayak gini, “ tolak Keisya sambil menunjuk matanya yang memang agak bengkak.
“ Pokoknya kamu harus ikut aku ke kantin. Tapi, kamu cuci muka dulu di WC, “ balas Cia sambil menarik paksa tangan Keisya untuk berdiri.

Cia dan Keisya akhirnya tiba di kantin. Tapi, suasana kantin saat itu sangat sepi. Tepatnya kosong melompong karena tidak ada satu ekor pun siswa yang berkeliaran di tempat itu. Eh….emangnya manusia punya ekor????...(manusiakan punya tulang ekor… ^_^)
Akhirnya Cia dan Keisya telah duduk saling berhadapan. Tiba – tiba…..
Byuuurrrr…….
“ Aaahhh….!!! Apa nih, hujan, banjir…aduh aku basah kuyup, “ teriak Keisya kaget.
“Happy Birthday, Keisya!!!!! “ terdengar puluhan suara dari balik punggung Keisya. Lalu, dia pun berbalik dan mendapati teman – teman sekelasnya telah berbaris rapi mengarah ke dirinya. Dari barisan tersebut mata Keisya menangkap sesosok perempuan yang sudah seminggu ini mengganggu pikirannya. Sosok itu pun tengah berjalan ke arah Keisya, dan….
“ Met ultah ya, Sya, “ kata Fia sambil memeluk Keisya.
“ Eh,,,iy…iya…” jawab Keisya masih setengah syok, “Fia, aku mau minta maaf soal kejadian di kantin seminggu lalu. Aku benar – benar nggak…”
“ Iya,,,iya. Aku maafin. Aku juga minta maaf ya, udah buat kamu khawatir sejauh ini. Sebenarnya sih waktu itu aku nggak marah, cuman setelah aku pikir – pikir, pasti asyik kalau sekali – kali ngerjain kamu. Terus, Cia juga nyaranin supaya aku pura – pura marahnya sampai hari ultah kamu aja. Tadi aku nggak masuk belajar soalnya nyiapin semua kejutan ini buat kamu, dan ini semua adalah rencana Cia, “ potong Fia sambil tersenyum manis pada sahabatnya tersebut.
“ Jadi, Cia…” lanjut Keisya.
“ Nah, aku hebat kan, Sya, “ suara Cia tiba – tiba hadir dipembicaraan kedua sahabatnya, “ Aku juga minta maaf ya kalau kamu ngerasa aku kelewatan.”
“ Mana mungkin aku bisa marah ma kalian berdua. Makasih ya udah buatin kejutan yang hebat ini untuk aku, “ kata Keisya sambil memeluk kedua sahabatnya.
Akhirnya mereka bertiga dan teman – teman lainnya merayakan hari ulang tahun Keisya dalam balutan suasana pertemanan dan persahabatan yang hangat dan menyenangkan.

1 komentar:

  1. Hallo. Selamat siang. Saya sangat suka cerpen yg anda tulis. Kebetulan saya menukan cerpen ini saat saya dapat tugas dari dosen saya.

    BalasHapus

Jika ada pertanyaan atau sanggahan, teman-teman bisa mengisi kotak komentar ini. Mari budayakan berkomentar. Selain baik untuk blog sobat, baik juga untuk kesehatan kita :D